Terkadang hujan kenangan datang. Membuat jiwamu basah tergenang. Sebasah tubuhmu yang terserang demam. Lantas bergulirlah cerita-cerita lalu. Tentang dia, tentang dia yang lain dan tentang dia yang lain lagi. Silih berganti mereka menyapamu, dalam demammu yang makin meninggi.
Adalah dia, yang kali pertama mengenalkanmu tentang sebuah rasa yang belum pernah singgah sebelumnya.
”Itu bukan cinta!”tampikmu berurai air mata. “Dia hanyalah kemarau yang mengincar daun-daun hijauku. Kelopakku baru merekah ketika ia mencampakkannya. Setelah ranting-rantingku kering, dengan acuhnya ia berlalu...”
Entah berapa musim kau terpaku dalam bisu. Wajah-wajah yang ramah menyapa, kau acuhkan begitu saja. Tak ada lagi hasrat, tuk meretas tunas baru.
“Aku bukan lagi manusia suci, seperti bidadari surgawi yang didamba semua lelaki. Membuka diri sama halnya membuka luka baru.“
Dia yang lain, datang dalam kesejukan kasih. Padamu, dia kerap bercerita. Tentang derap perjalanannya. Sepertinya dia tak terlampau memperdulikan, apakah engkau mendengarkan kisahnya ataukah tidak. Yang pasti, tunas-tunas pengharapanmu mulai bermunculan dengan sendirinya.
“Siapa sangka, lelaki tangguh itu ternyata rapuh,”ucapmu lirih. “Serapuh usianya...”
Di batu nisannya, rasa sesalmu menjejali lidahmu kembali. “Mungkin, jika kubuka pintu lebih dini, dia tak perlu mati…”
“Cukup, cukup sudah. Tak ‘kan ada lagi lelaki!” Katamu, yang lantas bertekad mengasingkan diri.
Dia yang lain lagi, adalah lelaki ketiga, yang datang melalui jendela mimpi.
“Tak ada gunanya kemari,”racaumu, menampik kedatangannya.
Tetapi, lelaki itu malah makin sering mendatangimu. Melalui mimpi tentunya. Ia selalu duduk di sampingmu, tanpa pernah berkata apa-apa. Kehadirannya yang mulanya terasa mengusikmu, lambat laun berubah menentramkan.
“Tapi begitulah lelaki. Tak cukup sebuah simpati untuknya! Bagaimana mungkin ia memintaku datang ke rumahnya? Lalu kutanya balik, mengapa bukan ia saja yang datang kemari? Dan tahukah apa jawabannya? ‘aku sudah berkali-kali hadir, menyapamu dalam semilir mimpi...’
“Kesal sekali rasanya! Aku ingin dia yang datang, memapahku yang kian lemah. Bukan sebaliknya. Tapi lagi-lagi ia menampik. ‘Engkau terpenjara dalam mimpi yang kau cipta sendiri. Tak siapapun bisa membebaskanmu, kecuali dirimu sendiri…’”
Aku tahu, dalam sekian lama penantian, letih-lelah membuatmu kehilangan nalar. Hingga engkau lalu berujar,”Dalam mimpi, aku sudah damai bertemu dia. Jadi buat apa menemuinya jauh-jauh di alam nyata?”
Aku tersenyum mendengar penuturanmu. Engkau mungkin tak tahu. Bahwa lelaki ketiga yang hadir dalam hidupmu, tiada pernah jemu menunggumu . Tiada henti ia berdoa. Agar kau mampu lepas dari belenggu mimpi yang merantai. Tak bosan ia mengintip tirai jendela, pada setiap langkah yang melintasi rumahnya.
Di batas penantiannya yang telah berakhir, ketika wajahmu tak jua hadir, bergegas ia melangkah. Menuju rerimbunan Akasia, tempat engkau bersemayam di alam mimpi. Dalam igaumu, engkau mulai bercerita padanya, tentang kisah lelaki pertama yang telah meredupkan hidupmu. Lalu engkau ceritakan penyesalanmu pada lelaki kedua, yang engkau telah menyia-nyiakan kasihnya. Masih setengah meracau, engkau bercerita tentang lelaki ketiga pada lelaki ketiga itu.
Engkau sungguh tak tahu, bahwa lelaki ketiga itu adalah aku…
No comments:
Post a Comment